Tugas Pengalaman Komunikasi 6
Rabu, 28 Desember 2016 by Sri Yuniarti Gojali in Label: , , ,



 Bedanya Belut Sama Ular


Aku memiliki seorang keponakan laki-laki bernama Gibran Ramadhan Haidar Araz atau biasa dipanggil dengan sebutan Ibang. Keponakanku ini memiliki pemikiran dan kemampuan yang jauh melampaui anak-anak seusianya. Untuk anak berumur empat tahun ia memiliki pemikiran yang benar-benar logis. Padahal pada umur-umur seperti empat tahun ini anak-anak biasanya selalu bermain dengan imajinasi-imajinasi mereka yang kadang sangatlah tidak logis. Tapi ada kalanya juga ia berkhayal dengan pemikirannya yang tak pernah bisa aku pahami, ya bagaimanapun juga keponakanku ini adalah seorang anak berumur empat tahun, kurasa sipat anak-anaknya itu tak akan pernah bisa hilang.


Pernah suatu hari ketika aku tengah berada di rumah, aku bermain dengan Gibran di depan rumahnya yang memang bersebelahan dengan rumah mamahku. Saat tengah bermain itu terdengar suara tukang cuanki yang biasa lewat di depan rumahnya, tentu saja ia berteriak kegirangan dan memanggil si amang tukang cuanki dengan kencang, padahal amang tukang cuanki ini masih jauh dari rumah. “Mang, mang, Ibang Beli. Sini ke rumah Ibang, mang, mang!” itulah yang terus ia teriakan dengan suaranya yang sangat melengking sampai si amang tukang cuanki ada di depan rumahnya.

“Mang Ibang pesen satu, buat bunda satu, kakak satu, ateu satu,” itulah yang langsung ia ucapkan Ibang saat si amang cuanki baru saja menurunkan tanggungannya. Karena si amang cuanki yang memang telah akrab dengan keponakanku ini, dan karena keponakanku yang cerewet, sepanjang si amang melayani pesanan kami – atau pesanan Gibran – mereka terlibat pembicaraan yang seru. Aku hanya mendengarkan sambil selaki-kali menimbali pembicaraan mereka.

Ada satu hala yang membuatku tertarik dengan percakapan mereka berdua, yaitu ketika keponakanku Gibran ini membahas perbedaan antara ular dengan belut. “Kalo ular itu pipih, kalo belut itu tembem,” karena kata-katanya ini tentu saja aku menanggapi, “Pipih dari mana? Emang ular pipih gitu?”. Dengan matanya yang menyipit karena kesal akan pertanyaanku tersebut, keponakanku menjawab dengan nada kesalnya, “Ih ateu mah, kan ular kobra di pinggir kepalanya ada yang pipih kaya kacamata kuda,” aku yang kembali merasa bingung dengan jawabannya kembali menanggapi komentarnya tentang ular “Kacamata kuda dari mana? Enggak kaya kacamata kuda juga,” Mungkin karena makin kesal si Ibang menjawab sambil menghentak-hentakan kakinya ke tanah, ia pun berkata “Kan kacamata kuda di pakenya di pinggir kepala kuda terus bentuknya juga tipis, pipih gitu. Kan sama kaya ular ada yang tipis pipihnya juga di pinggir kepalanya, jadi ya sama lah,” amang cuanki yang mendengarkan itu hanya menanggapi dengan tertawa, sedangkan aku di sebelahnya berwajah masam mengerucutkan bibir karena perkataan keponakanku itu.





“Kalo ular warnanya apa?” si amang cuanki kembali bertanya kepada keponakanku, “Ada yang hitam bawahnya silver, ada yang coklat, ada yang hijau,” jawabnya. “Kalo belut warnanya apa?” dengan wajah tanpa dosannya keponakanku menjawab hijau, yang tentu saja mendapat sanggahan dari ku dan si amang cuangki, menurut kami tidak ada belut yang warnanya hijau. “Ada, belut moray ada yang warnanya hijau. Da Gibran mah dari tadi juga ngomongin belut moray, bukan belut sawah,” dan aku dan amang cuankipun hanya bisa kembali merasa dibodohi.   

Posting Komentar