Bedanya Belut Sama Ular
Aku memiliki seorang
keponakan laki-laki bernama Gibran Ramadhan Haidar Araz atau biasa dipanggil
dengan sebutan Ibang. Keponakanku ini memiliki pemikiran dan kemampuan yang
jauh melampaui anak-anak seusianya. Untuk anak berumur empat tahun ia memiliki pemikiran
yang benar-benar logis. Padahal pada umur-umur seperti empat tahun ini
anak-anak biasanya selalu bermain dengan imajinasi-imajinasi mereka yang kadang
sangatlah tidak logis. Tapi ada kalanya juga ia berkhayal dengan pemikirannya
yang tak pernah bisa aku pahami, ya bagaimanapun juga keponakanku ini adalah
seorang anak berumur empat tahun, kurasa sipat anak-anaknya itu tak akan pernah
bisa hilang.
Pernah suatu hari ketika
aku tengah berada di rumah, aku bermain dengan Gibran di depan rumahnya yang memang
bersebelahan dengan rumah mamahku. Saat tengah bermain itu terdengar suara
tukang cuanki yang biasa lewat di depan rumahnya, tentu saja ia berteriak
kegirangan dan memanggil si amang tukang cuanki dengan kencang, padahal amang
tukang cuanki ini masih jauh dari rumah. “Mang, mang, Ibang Beli. Sini ke rumah
Ibang, mang, mang!” itulah yang terus ia teriakan dengan suaranya yang sangat
melengking sampai si amang tukang cuanki ada di depan rumahnya.
“Mang Ibang pesen satu,
buat bunda satu, kakak satu, ateu satu,” itulah yang langsung ia ucapkan Ibang
saat si amang cuanki baru saja menurunkan tanggungannya. Karena si amang cuanki
yang memang telah akrab dengan keponakanku ini, dan karena keponakanku yang
cerewet, sepanjang si amang melayani pesanan kami – atau pesanan Gibran –
mereka terlibat pembicaraan yang seru. Aku hanya mendengarkan sambil
selaki-kali menimbali pembicaraan mereka.
Ada satu hala yang
membuatku tertarik dengan percakapan mereka berdua, yaitu ketika keponakanku
Gibran ini membahas perbedaan antara ular dengan belut. “Kalo ular itu pipih,
kalo belut itu tembem,” karena kata-katanya ini tentu saja aku menanggapi,
“Pipih dari mana? Emang ular pipih gitu?”. Dengan matanya yang menyipit karena
kesal akan pertanyaanku tersebut, keponakanku menjawab dengan nada kesalnya,
“Ih ateu mah, kan ular kobra di pinggir kepalanya ada yang pipih kaya kacamata
kuda,” aku yang kembali merasa bingung dengan jawabannya kembali menanggapi
komentarnya tentang ular “Kacamata kuda dari mana? Enggak kaya kacamata kuda juga,”
Mungkin karena makin kesal si Ibang menjawab sambil menghentak-hentakan kakinya
ke tanah, ia pun berkata “Kan kacamata kuda di pakenya di pinggir kepala kuda
terus bentuknya juga tipis, pipih gitu. Kan sama kaya ular ada yang tipis
pipihnya juga di pinggir kepalanya, jadi ya sama lah,” amang cuanki yang
mendengarkan itu hanya menanggapi dengan tertawa, sedangkan aku di sebelahnya
berwajah masam mengerucutkan bibir karena perkataan keponakanku itu.
“Kalo ular warnanya apa?”
si amang cuanki kembali bertanya kepada keponakanku, “Ada yang hitam bawahnya
silver, ada yang coklat, ada yang hijau,” jawabnya. “Kalo belut warnanya apa?”
dengan wajah tanpa dosannya keponakanku menjawab hijau, yang tentu saja
mendapat sanggahan dari ku dan si amang cuangki, menurut kami tidak ada belut
yang warnanya hijau. “Ada, belut moray ada yang warnanya hijau. Da Gibran mah
dari tadi juga ngomongin belut moray, bukan belut sawah,” dan aku dan amang
cuankipun hanya bisa kembali merasa dibodohi.