Ieu Itu
Setelah aku berkuliah di Bandung, aku memutuskan untuk ngekos di daerah
dekat kampusku. Sebenarnya jarak tempat tinggalku dan kamupsku itu tidak
terlalu memakan waktu lama hanya sekitar satu sampai satu setengah jam
perjalanan, sama seperti waktu tempuh antara rumah dan sekolahku waktu kelas
satu SMA dulu. Tetapi karena macet dan kejadian-kejadian yang terduga lainnya,
waktu tempuhnya bisa sampai dua hingga tiga jam, kerena itulah aku memutuskan
untuk kost dekat kampusku saja.
Setiap satu atau dua minggu sekali aku selalu menyempatkan diri untuk
pulang ke rumah, tetapi itupun apabila tak ada kegiatan kampus yang harus aku
ikuti. Selain untuk mengobati rindu suasana dan orang-orang rumah, tetu saja
aku pulang untuk menghemat pengeluaran bulananku, hehe. Pasti anak-anak kost
sepertiku mengerti dengan “modus” ini.
Pada saat itu, hari jumat tanggal 4 November 2016, aku dan temanku Rinda
– yang berasal dari dareh yang sama sepertiku – memutuskan untuk pulang
kampung. Kerena kebetulan kami kuliah hanya sampai hari kamis, dan tak ada
kegiatan kampus lain yang kami ikuti saat itu. Seperti biasa kami pulang
menggunakan bis kota jurusan Kebon Kalapa Tanjungsari. Saat kami menaiki bis
kota tersebut, bis tidak terlalu penuh hingga kami bisa duduk di depan dekat
dengan kursi supir.
Setelah beberapa jauh bis meninggalkan terminal bis kota Damri ini di
Kebon Kalapa, sang kondektur bertanya kepadaku, “Neng mau pulang?” aku yang
bingung kenapa si bapak mengetahui kami akan pulang menjawab “Iya pak,” setelah
itu si bapak kondektur kembali bertanya “Eneng mahasiswa? Dimana kuliahnya?”
dan akupun menjawab, “Iya pak saya mahasiswa, kuliahnya di Unpas pak,” si bapak
hanya menganggukan kepalanya sambil kembali mengobrol dengan sopir bis. Mereka
membicarakan tentang kegiatan aksi damai 4 November yang kala itu tengah
dilakukan di Jakarta.
“Kenapa gak ikut demo neng?” aku yang kaget sekaligus bingung dengan
pertanyaan si bapak kondektur yang ternyata telah menghentikan obrolannya
dengan pak sopir hanya bisa melirik ke arah Rinda yang duduk disebelahku, dan
kemudian menjawab “Enggak ah pak,”. Si bapak hanya tersenyum sambil berkata
“Kenapa gak ikut? Kan mahasisiwa. Padahal mah ikut aja ke Jakarta, rame di sana
mah. Di sini mah sepi. Tuh tinggal jalan ge meni lalowong kieu,” aku hanya bisa
mengulum senyum tanpa menjawab perkataan si kondektur. Selanjutnya si bapak
kondekturpun terus mengajakku mengobrol, dari seputaran kuliah hingga tempat
turunku, hingga mungkin setengah perjalannan, yang waktu itu terasa sangat
lancar tanpa ada macet.
Dari obrolanku dengan bapak kondektur bis itu, aku menyadari bahwa salah
satu imej seorang mahasiswa di kalangan orang banyak itu adalah sebagai seorang
pendemo. Ia bahkan bertanya kenapa aku tidak ikut aksi damai 4 November yang ia
beri label “demo”. Sebenarnya menurutku tak ada salahnya berdemo, itu bukan
merupakan suatu dosa dan hal yang dilarang. Selama kita melakukan itu dengan
tertib dan damai, tanpa adanya kekerasan dan niat yang tak benar kenapa tidak
berdemo. Jadikan saja ajang demo kita itu untuk mencari dan menuntut keadilan
dan kebenaran, tentu saja dengan cara yang adil dan benar pula.