Tugas Pengalaman Komunikasi 3
Jumat, 16 Desember 2016 by Sri Yuniarti Gojali in Label: , , ,




Ironi Waduk Jati Gede

 Sekitar awal bulan Juni 2016 lalu, keluarku mengunjungi waduk Jatigede di Sumedang. Kebetulan saat itu sedang hari libur dan waduk Jati Gede tidak terlalu jauh jaraknya dari rumah kami, hanya sekitar 2 sampai 3 jam perjalanan. Apalagi karena aku adalah orang Sumedang rasanya tak apdol kalau tak pernah mengunjungi waduk terbesar ke dua di Indonesia ini.


Saat kami mengunjungi waduk Jati Gede,  ketinggian air sudah hampir penuh, walaupun menurut warga sekitar ketinggian airnya pada saat itu tengah surut. Tapi tetap saja bagiku yang baru pertama kali melihat rasanya seperti melihat laut saja, bahkan aku tak tau di mana batas akhir air waduk tersebut. Aku sempat tak bisa berkata-kata melihat itu semua. Sumedang sudah sangat berbeda dengan hadirnya waduk ini ternyata.

Satu hal yang membuatku tak dapat melupakan kunjunganku ke waduk Jati Gede saat itu adalah ketika aku dan mamahku berbincang-bincang dengan seorang nenek penjual makanan di waduk Jati Gede tersebut. Ia menceritakan bagaimana susahnya kehidupannya sekarang setelah rumah, kebun dan sawahnya digenangi air waduk. Mamahku saja sampai menangis mendengarkan penuturan si nenek. Katanya ia teringat saat dulu masih bekerja di dinas sosial kabupaten Sumedang beliau sering  berkunjung ke desa-desa yang kini tergenang air waduk untuk melakukan pendataan dan penyuluhan. Ia merasa iba dengan warga-warga yang kini rumahnya tergenang air waduk.


 “Itu teh kapungkurna anu ema neng,” itulah kata-kata pertama yang di ucapkan si nenek penjual makanan sambil menunjuk salah satu sudut waduk Jati Gede yang telah tergenang air. Si nenek bercerita bahwa dulu ia adalah seorang yang bisa dikatakan berada di kampungnya. Sawah dan kebunnya banyak dan selalu bisa memberikan penghidupan yang layak bagi keluarganya. Bahkan anak dan cucunya bergantung pada nenek tersebut. Namun semuanya berubah setelah sumber penghasilannya dulu (sawah dan kebun) digenangi air waduk. Walaupun si nenek mendapatkan uang ganti rugi pembebasan lahan, tetapi tetap saja uang tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sekarang. Apalagi uang ganti rugi yang diterima si nenek waktu itu pada tahun 90-an.

“Sugan teh da moal janten di bendung neng, janten ema teh uih deui ka bumi anu kapungkur,” begitu kata si nenek. Ia mengatakan uang ganti rugi yang diterimanya telah habis untuk membangun rumah barunya yang baru ia bangun awal tahun 2016. Tentu saja ini menjadi berat bagi si nenek, karena walaupun uang yang ia terima pada tahun 90-an itu cukup banyak, tetapi harga bahan bangunan saat ini lebih besar lagi dari tahun 90-an dulu. Tetapi ia merasa bersyukur, setidaknya si nenek telah membeli sebuah lahan untuk dijadikan kebun, walaupun kebun tersebut tidak terlalu luas. Sementara banyak tetangga-tetangganya sekarang yang juga mendapatkan uang ganti rugi di tahun 80-90-an, kebingungan mencari tempat tinggal baru karena ketiadaan modal. Sama seperti kasus si nenek yang mengira bahwa desa mereka tidak akan jadi di genangi, mereka akhirnya kembali lagi ke desa masing-masing dan mendirikan kembali rumah di tempat yang sama. Sementara uang ganti rugi telah habis, dan uang nati rugi yang di berikan pemerintah yang baru tidak seberapa, akhirnya kini mereka kebingungan  dengan nasib hidupnya.

Dari perbincangan saya dengan nenek penjual makanaan di waduk Jati Gede ini, saya seperti membuka mata kembali. Ternyata di balik kemegahan waduk terbesar ke dua yang di miliki Indonesia ini, masih banyak dampak-dampak sosial yang ditimbulkan. Entah bagaimana nasib para penduduk desa-desa yang di genangi air sekarang. Mungkin ada yang kehidupannya berkecukupan, tapi tak sedikit pula yang mungkin kehidupannya kini jauh lebih susah daripada kehidupan mereka dulu ketika masih berada di desa masing-masing. Apapun itu, semoga penduduk desa-desa yang tergenangi air waduk Jati Gede mendapatkan kehidupan yang layak, setidanya mereka dapat mencukupi kehidupannya masing-masing. Amiin.

Posting Komentar