Ironi Waduk Jati Gede
Sekitar awal bulan Juni 2016 lalu, keluarku mengunjungi waduk Jatigede di
Sumedang. Kebetulan saat itu sedang hari libur dan waduk Jati Gede tidak
terlalu jauh jaraknya dari rumah kami, hanya sekitar 2 sampai 3 jam perjalanan.
Apalagi karena aku adalah orang Sumedang rasanya tak apdol kalau tak pernah
mengunjungi waduk terbesar ke dua di Indonesia ini.
Saat kami mengunjungi waduk Jati Gede,
ketinggian air sudah hampir penuh, walaupun menurut warga sekitar
ketinggian airnya pada saat itu tengah surut. Tapi tetap saja bagiku yang baru
pertama kali melihat rasanya seperti melihat laut saja, bahkan aku tak tau di
mana batas akhir air waduk tersebut. Aku sempat tak bisa berkata-kata melihat
itu semua. Sumedang sudah sangat berbeda dengan hadirnya waduk ini ternyata.
Satu hal yang membuatku tak dapat melupakan kunjunganku ke waduk Jati Gede
saat itu adalah ketika aku dan mamahku berbincang-bincang dengan seorang nenek
penjual makanan di waduk Jati Gede tersebut. Ia menceritakan bagaimana susahnya
kehidupannya sekarang setelah rumah, kebun dan sawahnya digenangi air waduk.
Mamahku saja sampai menangis mendengarkan penuturan si nenek. Katanya ia
teringat saat dulu masih bekerja di dinas sosial kabupaten Sumedang beliau
sering berkunjung ke desa-desa yang kini
tergenang air waduk untuk melakukan pendataan dan penyuluhan. Ia merasa iba
dengan warga-warga yang kini rumahnya tergenang air waduk.
“Itu teh kapungkurna anu ema neng,” itulah kata-kata pertama yang di
ucapkan si nenek penjual makanan sambil menunjuk salah satu sudut waduk Jati
Gede yang telah tergenang air. Si nenek bercerita bahwa dulu ia adalah seorang
yang bisa dikatakan berada di kampungnya. Sawah dan kebunnya banyak dan selalu
bisa memberikan penghidupan yang layak bagi keluarganya. Bahkan anak dan
cucunya bergantung pada nenek tersebut. Namun semuanya berubah setelah sumber
penghasilannya dulu (sawah dan kebun) digenangi air waduk. Walaupun si nenek
mendapatkan uang ganti rugi pembebasan lahan, tetapi tetap saja uang tersebut
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sekarang. Apalagi uang ganti rugi
yang diterima si nenek waktu itu pada tahun 90-an.
“Sugan teh da moal janten di bendung neng, janten ema teh uih deui ka
bumi anu kapungkur,” begitu kata si nenek. Ia mengatakan uang ganti rugi yang
diterimanya telah habis untuk membangun rumah barunya yang baru ia bangun awal
tahun 2016. Tentu saja ini menjadi berat bagi si nenek, karena walaupun uang
yang ia terima pada tahun 90-an itu cukup banyak, tetapi harga bahan bangunan
saat ini lebih besar lagi dari tahun 90-an dulu. Tetapi ia merasa bersyukur,
setidaknya si nenek telah membeli sebuah lahan untuk dijadikan kebun, walaupun
kebun tersebut tidak terlalu luas. Sementara banyak tetangga-tetangganya
sekarang yang juga mendapatkan uang ganti rugi di tahun 80-90-an, kebingungan
mencari tempat tinggal baru karena ketiadaan modal. Sama seperti kasus si nenek
yang mengira bahwa desa mereka tidak akan jadi di genangi, mereka akhirnya
kembali lagi ke desa masing-masing dan mendirikan kembali rumah di tempat yang
sama. Sementara uang ganti rugi telah habis, dan uang nati rugi yang di berikan
pemerintah yang baru tidak seberapa, akhirnya kini mereka kebingungan dengan nasib hidupnya.
Dari perbincangan saya dengan nenek penjual makanaan di waduk Jati Gede
ini, saya seperti membuka mata kembali. Ternyata di balik kemegahan waduk
terbesar ke dua yang di miliki Indonesia ini, masih banyak dampak-dampak sosial
yang ditimbulkan. Entah bagaimana nasib para penduduk desa-desa yang di genangi
air sekarang. Mungkin ada yang kehidupannya berkecukupan, tapi tak sedikit pula
yang mungkin kehidupannya kini jauh lebih susah daripada kehidupan mereka dulu
ketika masih berada di desa masing-masing. Apapun itu, semoga penduduk
desa-desa yang tergenangi air waduk Jati Gede mendapatkan kehidupan yang layak,
setidanya mereka dapat mencukupi kehidupannya masing-masing. Amiin.