Coba Saja
Saat aku masih SMA, aku adalah
salah satu murid yang aktif di kegiatan ekstrakulikuler mading atau
jurnalistik, atau di sekolahku disebut dengan SMART, singkatan dari SMANSA ART.
Memang ekstrakulikuler yang satu ini tidak sepopuler ekstrakulikuler-ekstrakulikuler
yang lainnya, bahkan peminatnya bisa dibilang sedikit. Tapi hal ini tidak
menyurutkan minatku untuk mengikuti club yang satu ini. Berawal dari hobiku
yang senang menggambar dan menulis puisi aku bertekad untuk masuk SMART.
Tak disangka ekstrakulikuler yang
sempat dianggap sebelah mata bahkan oleh pihak sekolah ini, malah menjadi tempat
aku untuk belajar banyak hal dan mendapatkan pengetahuan dan pengalaman baru. Pengalaman
yang paling berkesan adalah saat timku mendapatkan juara pertama kejuaraan
membuat mading se Jawa Barat di Universitas Padjadjaran.
Waktu itu aku masih kelas satu SMA
semester pertama saat ketua SMART memberitahukan kepada para anggotanya bahwa
SMA kami mendapatkan undangan untuk mengikuti lomba membuat mading dari
Universitas Padjadjaran (UNPAD). Tentu saja kami sangat antusias untuk
mengikuti lomba tersebut.
Singkat cerita setelah kami
berdiskusi dengan pihak sekolah untuk persetujuan kamipun mengikuti perlombaan
yang diadakan dua hari tersebut. Sekolah kami mengirimkan 3 tim yang semuanya
terdiri dari 4 sampai 5 orang, kebetulan timku terdiri dari 4 orang yaitu aku,
Galih, Putri dan Hari.
Hari pertama adalah hari pembuatan
mading, yang semuanya kami kerjakan di tempat (UNPAD Dipatiukur), dan hari
kedua adalah hari presentasi karya mading yang telah kami buat di hadapan para
juri, peserta lain, panitia dan semua orang yang menonton presentasi tersebut.
Hari pertama berjalan lancar,
walaupun di tengah pembuatan mading hujan lebat turun. Tetapi pada saat hari
kedualah yang menurutku sangat berat. Tim kami cukup percaya diri dengan mading
yang telah kami buat, tapi untuk mempresentasikan makna dari mading kami ini,
kami benar-benar bingung karena sebelumnya kami tak tahu bahwa mading kami ini
harus dipresentasikan, tentu saja kami belum siap sama sekali, apalagi setiap
ditel dari mading itu harus memiliki makna. Oh
God, matilah kita!
Tapi dengan bermodalkan tekad dan
nekat, akhirnya aku dan temanku Galih memberanikan diri untuk maju
mempresentasikan karya mading kami dengan tanpa persiapan apapun. “Kumaha engke weh di depan mah,” itulah
yang aku ucapka kepada Teh El kakak kelasku yang juga mengikuti perlombaan itu.
Saat aku dan Galih maju untuk mempresentasikan mading kami, rasanya aku ingin
mundur kembali apalagi melihat peserta lain begitu lancar berpresentasi. But the show must go on.
Di depan para juri yang jika tak
salah berjumlah 4 orang aku mencoba berbicara mempresentasikan karya tim kami
sebisaku. Setiap detail yang terdapat di mading aku coba cari artinya secara
mendadak di tempat. Berharap apa yang aku bicarakan bisa masuk akal, walaupun
aku pesimis akan hal itu. Sesekali aku mencoba untuk mengeluarkan candaan untuk
mengurangi keteganganku, juga agar pendengar di hadapanku tidak merasa bosan. Tapi
sialnya candaanku itu malah tak di anggap oleh pendengar, terkesan garing dan
sangat canggung. Akhirnya aku hanya bisa tersenyum masam dan mencoba mempertebal
muka menahan rasa malu. God, please take
me out from here!
Seakan kesialan yang aku alami
belum berakhir di tengah-tengah presentasi, parnerku Galih
tiba-tiba sakit dan tidak bisa melanjutkan menemaniku untuk presentasi. Memang sebelumnya
ia sedang sakit, mungkin karena terkena hujan di hari pertama perlombaan. Akhirnya
mau tidak mau aku harus meneruskan presentasi sendirian, dan apa yang harus aku
presentasikan itu masih banyak. Tapi untunglah aku bisa menyelesaikan
presentasi tersebut sampai akhir.
Yang paling memalukan bagiku
adalah ketika juri ketua mengomentari dan mencoba memperbaiki caraku berpresentasi
di hadapan banyak orang. “Keliatan banget masih gugup ya? Nanti mah gak usah
ngelucu deh ya,” itu yang beliau ucapkan waktu itu. Walaupun beliau
mengatakannya dengan nada bercanda tapi tetap saja malunya itu banget, banget,
banget. Aku hanya bisa mengangguk sambil berusaha menutup wajah dengan
tanganku, apalagi orang-orang tertawa menanggapi ucapan juri.
Tetapi untunglah rasa malu dan
tegangku bisa terbayar dengan akhirnya timku bisa menjadi juara pertama dalam
ajang perlombaan itu. Kami berhasil membawa piala pertama setelah sekian tahun
SMART tak pernah mendapatkannya, untuk kami persembahkan kepada sekolah kami
tercinta.
Ternyata berbicara di depan
banyak orang itu tak semudah kelihatannya kawan, kita benar-benar harus
memiliki mental yang kuat. Tapi walaupun demikian cobalah untuk berbicara di depan khalayak
jangan pernah takut mencoba, karena setelahnya kau akan terbiasa dan terus
menjadi lebih baik. Ala bisa karena biasa!!