Tugas Pengalaman Komunikasi 14
Kamis, 12 Januari 2017 by Sri Yuniarti Gojali in Label: , , ,



Beretika Saat Berbicara



Waktu SD dulu, aku dan adiku Ilham pernah mengikuti PORSENI untuk tingkat kabupaten. Ketika itu aku mengikuti lomba biantara (pidato) bahasa Sunda, sedangkan adiku mengikuti lomba menyanyi lagu wajib nasional dan lagu pilihan. Pada saat melakukan lomba itu, aku sudah kelas lima SD, sedangkan adikku baru kelas tiga, tentu saja itu menjadikannya sebagai peserta termuda pada saat mengikuti lomba PORSENI tersebut.





Pertama-tama kami melakukan seleksi di tingkat gugus masing-masing. Waktu itu di wilayah gugus sekolahku, ada tujuh sekolah SD, termasuk di dalamnya dengan SDku, SDN Sirnamanah. Adikku yang baru pertama kali mengikuti lomba menyanyi, dan karena ia merasa tidak percaya diri karena ia menjadi peserta lomba paling kecil terlihat sangat gugup. Tapi untunglah ia bisa mengatasi kegugupannya pada saat hari penyeleksian tingkat gugus.

Singkat cerita pengumuman perwakilan gugus untuk berlomba di tingkat kecamatan diumumkan. Dan aku merasa senang karena perwakilan sekolahku banyak yang masuk untuk melanjutkan perjuangan ketingkat kecamatan. Waktu itu hanya ada satu temanku yang gugur, di bidang menyanyi pupuh Sunda. Tentu saja aku dan adikkupun sangat senang bahwa kami bisa kembali berjuang di tingkat yang lebih tinggi bersama.

Ada satu hal yang membuatku dan temanku Eva menjadi benar-benar kesal dan marah pada waktu hari H perlombaan di tingkat kecamatan. Waktu itu karena lomba yang aku dan Eva ikuti sudah selesai, kami memutuskan untuk berkeliling melihat lomba yang masih berlangsung. Karena teman-teman sekolahku yang ikut masuk mewakili ke lomba ke tingkat kecamatan masih melakukan lomba, jadi kami hanya berdua saja melihat-lihat lomba yang ada.

Saat aku melihat lomba menyanyi yang diikuti adikku, kebetulan waktu itu tinggal beberapa nomor lagi adiku akan tampil. Kami memutuskan untuk menunggu penampilan adikku, sekaligus juga untuk memberikan semangat kepadanya. Lomba menyanyi ini sepertinya menjadi lomba yang ditunggu banyak orang, terbukti dengan penontonnya yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan lomba-lomba yang lain. Adiku yang menyadari ada aku di barisan penonton melirik kepadaku wajahnya terlihat gugup. Aku pun mengepalkan telapak tangan kananku dan memperlihatkannya pada adikku. Itu adalah cara kami untuk mengatakan semangat. Melihat itu, adiku terlihat sedikit lebih tenang walaupun masih terlihat kegugupannya.

Ketika adiku tampil, ia tampil dengan lebih rileks, walaupun saat awal-awal lagu suaranya sedikit bergetar. Sayang pada saat menyanyikan lagu ke dua di akhir lagunya, pada saat nada tinggi suara adiku tidak sampai, sehingga suaranya menjadi fals. Aku dan Eva menjadi sedikit kecewa waktu itu, tapi tak apa, kesalahan memang suka terjadi kan?




Tapi, tiba-tiba saja seorang guru dari sekolah lain yang juga menonton penampilan adiku berkata kepada anak didiknya, “Tuh barudak, lamun can siap mah tong ikutan lomba pan kitu jadina kalah pales.” Aku yang mendengar kata-kata yang menurutku kurang pantas itu, langsung berkata kepada Eva dengan suara yang cukup keras, “Ih pan mun salah sakedik mah teu nanaonnya? Pan tos usaha,” seketika pandangan orang-orang langsung mengarah kepadaku. “Wajar wehnya jebeningan si dedek mah nembege kelas tilu, paling alit didieu ge. Sakitu ge uyuhan ih kersa ngiringan.” Kata-kata itu aku ucapkan seolah-olah aku tengah berbicara dengan Eva – yang juga berawajah kesal – walaupun sebenarnya aku mengtakan kata-kata itu untuk si bapak guru. Tapi aku yakin bapak guru yang mengatai adiku itu mengerti dengan maksud ucapanku, terbukti dengan raut wajahnya yang menjadi asam.





Setelah itu aku dan Eva memutuskan meninggalkan tempat itu masih untuk menghampiri guru kami, masih dengan wajah kesal dan racauan kami yang seharusnya kena sensor, hingga akhirnya kami di tegur oleh guru kami. Setelah bertanya dan mendengarkan cerita kami tentang insiden di tempat lomba menyanyi, guruku menasehati kami, bahwa seharusnya kami idak boleh berbuat demikian, apalagi kepada orang yang jauh lebih tua. Tapi mau bagaimana lagi aku dan Eva sudah terlanjur kesal dengan si bapak guru. Bukankah seharusnya guru itu harus menjadi panutan untuk anak muridnya, tapi kenapa dia malah berkata demikian. Tetapi bila aku ingat apa yang aku lakukan waktu itu, aku juga membenarkan perkataan guruku. Aku seharusnya bisa mengendalikan emosiku dan berkata dengan lebih baik. Yah bagaimanapun ketika kita berkata-kata harus dengan etika. Kata-kata tidak baik tidak bisa dibalas dengan kata-kata tidak baik pula.     

Posting Komentar