Beretika Saat Berbicara
Waktu
SD dulu, aku dan adiku Ilham pernah mengikuti PORSENI untuk tingkat kabupaten.
Ketika itu aku mengikuti lomba biantara (pidato) bahasa Sunda, sedangkan adiku
mengikuti lomba menyanyi lagu wajib nasional dan lagu pilihan. Pada saat
melakukan lomba itu, aku sudah kelas lima SD, sedangkan adikku baru kelas tiga,
tentu saja itu menjadikannya sebagai peserta termuda pada saat mengikuti lomba
PORSENI tersebut.
Pertama-tama
kami melakukan seleksi di tingkat gugus masing-masing. Waktu itu di wilayah
gugus sekolahku, ada tujuh sekolah SD, termasuk di dalamnya dengan SDku, SDN
Sirnamanah. Adikku yang baru pertama kali mengikuti lomba menyanyi, dan karena
ia merasa tidak percaya diri karena ia menjadi peserta lomba paling kecil
terlihat sangat gugup. Tapi untunglah ia bisa mengatasi kegugupannya pada saat
hari penyeleksian tingkat gugus.
Singkat
cerita pengumuman perwakilan gugus untuk berlomba di tingkat kecamatan
diumumkan. Dan aku merasa senang karena perwakilan sekolahku banyak yang masuk
untuk melanjutkan perjuangan ketingkat kecamatan. Waktu itu hanya ada satu temanku
yang gugur, di bidang menyanyi pupuh Sunda. Tentu saja aku dan adikkupun sangat
senang bahwa kami bisa kembali berjuang di tingkat yang lebih tinggi bersama.
Ada
satu hal yang membuatku dan temanku Eva menjadi benar-benar kesal dan marah
pada waktu hari H perlombaan di tingkat kecamatan. Waktu itu karena lomba yang
aku dan Eva ikuti sudah selesai, kami memutuskan untuk berkeliling melihat
lomba yang masih berlangsung. Karena teman-teman sekolahku yang ikut masuk
mewakili ke lomba ke tingkat kecamatan masih melakukan lomba, jadi kami hanya
berdua saja melihat-lihat lomba yang ada.
Saat
aku melihat lomba menyanyi yang diikuti adikku, kebetulan waktu itu tinggal
beberapa nomor lagi adiku akan tampil. Kami memutuskan untuk menunggu
penampilan adikku, sekaligus juga untuk memberikan semangat kepadanya. Lomba
menyanyi ini sepertinya menjadi lomba yang ditunggu banyak orang, terbukti
dengan penontonnya yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan lomba-lomba yang
lain. Adiku yang menyadari ada aku di barisan penonton melirik kepadaku
wajahnya terlihat gugup. Aku pun mengepalkan telapak tangan kananku dan
memperlihatkannya pada adikku. Itu adalah cara kami untuk mengatakan semangat.
Melihat itu, adiku terlihat sedikit lebih tenang walaupun masih terlihat
kegugupannya.
Ketika
adiku tampil, ia tampil dengan lebih rileks, walaupun saat awal-awal lagu
suaranya sedikit bergetar. Sayang pada saat menyanyikan lagu ke dua di akhir
lagunya, pada saat nada tinggi suara adiku tidak sampai, sehingga suaranya
menjadi fals. Aku dan Eva menjadi sedikit kecewa waktu itu, tapi tak apa,
kesalahan memang suka terjadi kan?
Tapi,
tiba-tiba saja seorang guru dari sekolah lain yang juga menonton penampilan
adiku berkata kepada anak didiknya, “Tuh
barudak, lamun can siap mah tong ikutan lomba pan kitu jadina kalah pales.” Aku yang mendengar kata-kata yang
menurutku kurang pantas itu, langsung berkata kepada Eva dengan suara yang
cukup keras, “Ih pan mun salah sakedik
mah teu nanaonnya? Pan tos usaha,”
seketika pandangan orang-orang langsung mengarah kepadaku. “Wajar wehnya jebeningan si dedek mah nembege kelas tilu, paling alit
didieu ge. Sakitu ge uyuhan ih kersa
ngiringan.” Kata-kata itu aku ucapkan seolah-olah aku tengah berbicara
dengan Eva – yang juga berawajah kesal – walaupun sebenarnya aku mengtakan
kata-kata itu untuk si bapak guru. Tapi aku yakin bapak guru yang mengatai
adiku itu mengerti dengan maksud ucapanku, terbukti dengan raut wajahnya yang
menjadi asam.
Setelah
itu aku dan Eva memutuskan meninggalkan tempat itu masih untuk menghampiri guru
kami, masih dengan wajah kesal dan racauan kami yang seharusnya kena sensor,
hingga akhirnya kami di tegur oleh guru kami. Setelah bertanya dan mendengarkan
cerita kami tentang insiden di tempat lomba menyanyi, guruku menasehati kami,
bahwa seharusnya kami idak boleh berbuat demikian, apalagi kepada orang yang
jauh lebih tua. Tapi mau bagaimana lagi aku dan Eva sudah terlanjur kesal
dengan si bapak guru. Bukankah seharusnya guru itu harus menjadi panutan untuk
anak muridnya, tapi kenapa dia malah berkata demikian. Tetapi bila aku ingat
apa yang aku lakukan waktu itu, aku juga membenarkan perkataan guruku. Aku
seharusnya bisa mengendalikan emosiku dan berkata dengan lebih baik. Yah bagaimanapun
ketika kita berkata-kata harus dengan etika. Kata-kata tidak baik tidak bisa
dibalas dengan kata-kata tidak baik pula.