Anak-Anak Istimewa
Sekitar
beberapa bulan yang lalu, aku pernah mengantar salah satu keponakanku untuk
melakukan terapi bicara. Memang keponakanku ini memiliki sebuah kekurangan,
yaitu di usianya yang sudah tujuh tahun ia masih kesulitan dalam berbicara, dan orang-orang menyebut keponakanku sebagai anak autis.
Walaupun demikian aku dan keluargaku tak pernah merasa malu dengan keadaan
keponakanku ini. Kami selalu mengusahakan kesembuhan keponakanku ini, berdoa
dan terus yakin bahwa suatu saat ia bisa seperti anak-anak normal lainnya.
Waktu
itu sebelum berangkat ke tempat terapi, kakakku telah memberiku peringatan agar
tidak kaget dengan anak-anak yang berada di tempat terapi, terutama dengan anak
yang bernama Ica. Ia berkata bahwa Ica adalah anak berkebutuhan khusus (autis) yang ceria dan
sangat suka berinteraksi dengan orang lain, maka dari itu ia memperingatiku
jangan takut ketika nanti dia terus mendekatiku. Tapi aku tidak merasa cemas
karena memang aku sudah biasa berinteraksi dengan anak-anak seperti demikian.
Saat
kami sampai di tempat terapi suasana di sana sangatlah sepi. Tidak ada orang
satupun, bahkan bangunan tempat terapi terkunci, maka kakakku memutuskan untuk
menelepon terapis keponakanku untuk memberitahu keberadaan kami. Tak berapa
lama setelah kakakku menelepon, terapis keponakankupun datang mengendarai motor
dengan membonceng seorang anak perempuan
berumur sekitar sepuluh atu sebelas tahun.
Kakakku
memberitahuku anak perempuan itu adalah Ica, dan aku hanya bisa berah ria
sambil memperhatikan Ica yang turun dari motor. Penampilan Ica menurutku
seperti anak-anak biasa, tak terihat ada kekurangan sama sekali. Belakangan aku
mengetahui bahwa ia sudah mulai sembuh dari sakitnya walaupun ciri-ciri anak
berkebutuhan khusus masih terlihat dan belum bisa hilang.
Saat
pandangan Ica terarah kepadaku ia tersenyum dengan sangat lebar dan dengan
cepat menghampiriku. Ia menggengam tanganku dengan cepat sambil berkata “Ini
Ica,” yang dikatakannya selama beberapa kali. Aku tersenyum kepadanya, takjub
dengan cara bicaranya yang seperti orang normal lainnya, kecuali memang dengan
pengulangan kata-kata yang ia lakukan.
“Teteh,
sehat?” pertanyaan itu sepertinya telah ia tanyakan selama lebih dari lima kali
kepadaku. Jika aku tak mengetahui bahwa dia adalah anak berkebutuhan khusus,
mungkin aku akan menganggapnya anak aneh. Tapi karena aku mengetahui kondisinya
aku hanya bisa terus menjawab selama ia mengajukan pertanyaan yang terus dia
ulang.
Selama
terapis sedang mempersiapkan peralatan-peralatan untuk terapis keponakanku dan
Ica (kebetulan hari itu anak yang melakukan terapis hanya mereka berdua) Ica
tidak hentinya memperlihatkan setiap sudut tempat terapi kepadaku. Ia terlihat
begitu bersemangat ketika menjelaskan setiap sudut tempat yang ia sebut sekolah
itu. Karena terbawa dengan rasa semangatnya akupun seperti mendapatkan juga
energi positifnya.
Selama
melakukan ‘tour’ tempat terapi itu banyak kata-kata dari Ica yang terus ia
ulang berkali-kali. Seperti mengatkan sesuatu yang bersar untuk pertama
kalinya ia mengatakan setiap kalimatnya (yang ia ulang-ulang itu) dengan
intonasi dan antusias yang sama. Karena terapisnya telah memanggil Ica untuk
memulai sesi terapinya bersama-sama dengan keponakanku, ia pun menghentikan
‘panduan tournya’. “Teteh Ica belajar dulu ya,” ia mengatakan itu sebanyak tiga
atau empat kali sebelum benar-benar mengikuti sesi terapinya. Aku hanya bisa
menjawab iya sebanyak ia berkata sambil menyunggingkan senyum karena geli
dengan tingkah anak satu itu.
Selama ini mungkin banyak orang yang masih menilai anak-anak autis sebelah mata. mereka menganggap bahwa anak-anak dengan kebutuhan khusus ini sebagai sebuah aib. Tapi tidak, sebenarnya anak-anak ini sangatlah jauh dari kata aib. Dengan pemikiran mereka yang begitu murni, senyum dan tawa mereka yang tulus, dan kejernihan hati mereka, bagaimana bisa mereka disandingkan dengan kata tersebut. Autism is not processing error, it's a different operating system.