Tugas Pengalaman Komunikasi 1
Sabtu, 01 Oktober 2016 by Sri Yuniarti Gojali in Label: , , ,


Si Kecil Bermulut Tajam


Apa sih yang terbayang di benak kalian saat mendengar kata masa kecil? Apakah masa-masanya yang indah? Kepolosan-kepolosan yang kalian lakukan? Atau justru kenakalan-kenakalan yang jika diingat akan membuat kalian tersenyum sendiri?


Masa kecil bagi kebanyakan orang adalah saat-saat yang sangat menyenangkan. Begitu bebas dengan pemikiran dan tingkahnya yang masih polos. Saking plosnya hingga lupa atau bahkan tak tau bahwa apa yang dilakukan itu salah dan berbahaya. Berbuat hal yang membahayakan, berprilaku ‘seenak udel’, sampai berbicara tanpa  dipikirkan terlebih dahulu sepertinya sudah menjadi sebuah hal yang hanya bisa dimaklumi.

“Wios weh da alit keneh”, itu adalah kata-kata yang sering dikatakan orang saat aku pada masa kecil mulai bertingkah. Ya, saat masih kecil aku termasuk anak yang nakal, sampai-sampai kedua orang tuaku bingung bagaimana cara menghadapiku waktu itu. “Mau dikasarin, tapi masih kecil. Tapi kalo didiemin bahaya nih,” mungkin itulah yang mereka pikirkan dulu.

Salah satu kenakalan yang paling aku ingat adalah, saat kecil dulu aku tak bisa menjaga apa yang keluar dari mulutku, bicara semaunya sendiri, tajam, nyelekit. Hingga puncaknya terjadi pada ketika aku berumur sekitar empat tahun pada saat pernikahan kakak sepupuku, Teh Iin diadakan. Teh Iin adalah kakak sepupu yang sangat dekat denganku begitu juga dengan suaminya A Kholis. Saking dekatnya aku dengan mereka, aku yang sedari kecil sudah sering diasuh oleh mereka sudah tak canggung untuk mengutarakan, pendapat sekalipun pendapat itu mungkin sedikit kasar.

Saat itu seharusnya menjadi hari yang membahagiakan bagi Teh Iin dan A Kholis, karena hari itu adalah hari pernikahan mereka. Aku yang sedari pagi sudah ada di rumah Ua (kakak mamahku) bingung dengan keramaian yang terjadi terus bertanya kepada papahku apa yang sebenarnya sedang terjadi. “Kenapa di sini banyak orang?”, “Kenapa Teh Iin pake kebaya?”, “Kenapa warna kebayanya harus putih?”, “Kenapa harus nikah?”, dan masih banyak pertanyaan lain yang aku yakin membuat papahku pusing setengah mati waktu itu.

Aku masih ingat saat papahku yang balik bertanya kepadaku “Teh Iin cantik yah?” Dengan percaya diri dan suara yang keras aku menjawab “Henteu ah, jiga domba da,” (“Enggak ah, kayak domba kok,”). Terang saja semua orang langsung melerik kearahku yang tengah di gendong papah, termasuk Teh Iin dan A Kholis, dengan pandangan kaget bercampur geli. Teh Iin hanya bisa terseyum, walau dalam hatinya aku yakin ia tengah menahan kesal. Tentu saja, dia sudah susah-susah berdandan dari pagi buta, dan aku malah mengatainya mirip domba. Ya, ya, ya, aku dan mulut kecilku yang tajam.

Jadi seperti itulah gaya komunikasi masa kecilku yang polos dan sedikit kurang ajar, hehe. Jika diingat kembali aku hanya bisa mengelus dada, sambil berpikir “Kok aku kayak gitu ya dulu?”. Tolong maklumi saja karena masih anak kecil :P.

Posting Komentar