Si Kecil Bermulut Tajam
Apa sih yang terbayang di benak
kalian saat mendengar kata masa kecil? Apakah masa-masanya yang indah?
Kepolosan-kepolosan yang kalian lakukan? Atau justru kenakalan-kenakalan yang
jika diingat akan membuat kalian tersenyum sendiri?
Masa kecil bagi kebanyakan orang
adalah saat-saat yang sangat menyenangkan. Begitu bebas dengan pemikiran dan
tingkahnya yang masih polos. Saking plosnya hingga lupa atau bahkan tak tau
bahwa apa yang dilakukan itu salah dan berbahaya. Berbuat hal yang membahayakan,
berprilaku ‘seenak udel’, sampai
berbicara tanpa dipikirkan terlebih
dahulu sepertinya sudah menjadi sebuah hal yang hanya bisa dimaklumi.
“Wios weh da alit keneh”, itu adalah kata-kata yang sering
dikatakan orang saat aku pada masa kecil mulai bertingkah. Ya, saat masih kecil
aku termasuk anak yang nakal, sampai-sampai kedua orang tuaku bingung bagaimana
cara menghadapiku waktu itu. “Mau dikasarin, tapi masih kecil. Tapi kalo
didiemin bahaya nih,” mungkin itulah yang mereka pikirkan dulu.
Salah satu kenakalan yang paling
aku ingat adalah, saat kecil dulu aku tak bisa menjaga apa yang keluar dari
mulutku, bicara semaunya sendiri, tajam, nyelekit. Hingga puncaknya terjadi pada ketika aku
berumur sekitar empat tahun pada saat pernikahan kakak sepupuku, Teh Iin diadakan.
Teh Iin adalah kakak sepupu yang sangat dekat denganku begitu juga dengan
suaminya A Kholis. Saking dekatnya aku dengan mereka, aku yang sedari kecil
sudah sering diasuh oleh mereka sudah tak canggung untuk mengutarakan, pendapat
sekalipun pendapat itu mungkin sedikit kasar.
Saat itu seharusnya menjadi hari
yang membahagiakan bagi Teh Iin dan A Kholis, karena hari itu adalah hari
pernikahan mereka. Aku yang sedari pagi sudah ada di rumah Ua (kakak mamahku)
bingung dengan keramaian yang terjadi terus bertanya kepada papahku apa yang
sebenarnya sedang terjadi. “Kenapa di sini banyak orang?”, “Kenapa Teh Iin pake
kebaya?”, “Kenapa warna kebayanya harus putih?”, “Kenapa harus nikah?”, dan
masih banyak pertanyaan lain yang aku yakin membuat papahku pusing setengah
mati waktu itu.
Aku masih ingat saat papahku yang
balik bertanya kepadaku “Teh Iin cantik yah?” Dengan percaya diri dan suara
yang keras aku menjawab “Henteu ah, jiga domba da,” (“Enggak ah, kayak domba
kok,”). Terang saja semua orang langsung melerik kearahku yang tengah di
gendong papah, termasuk Teh Iin dan A Kholis, dengan pandangan kaget bercampur
geli. Teh Iin hanya bisa terseyum, walau dalam hatinya aku yakin ia tengah
menahan kesal. Tentu saja, dia sudah susah-susah berdandan dari pagi buta, dan
aku malah mengatainya mirip domba. Ya, ya, ya, aku dan mulut kecilku yang tajam.
Jadi seperti itulah gaya komunikasi
masa kecilku yang polos dan sedikit kurang ajar, hehe. Jika diingat kembali aku
hanya bisa mengelus dada, sambil berpikir “Kok aku kayak gitu ya dulu?”. Tolong
maklumi saja karena masih anak kecil :P.