Tugas Pengalaman Komunikasi 7
Rabu, 28 Desember 2016 by Sri Yuniarti Gojali in Label: , , ,



 Pengalaman Itu Segalanya


Ketika kelas satu SMP dulu, aku dan dua orang temanku yang lain – Safitri dan Wina – pernah mendapatkan amanah dari sekolahku ketika itu – SMP Negeri 1 Tanjungsari – untuk mewakili sekolah kami dalam kejuaraan story telling Pekan Olah Raga dan Seni  sekabupaten Sumedang. Ketika itu kemampuan bahasa inggrisku belum terlalu baik, bahasa Inggrisku masihlah sangat basic. Karena hal itulah pertamanya aku menolak tawaran yang untuk mengikuti kejuaraan itu. Tetapi karena dukungan dari orang-orang dekatku dan bujukan serta motivasi yang diberikan oleh guru bahasa inggrisku kala itu – Bu Eva – akhirnya aku mau mengikuti lomba story telling tersebut.

Kami melakukan latihan yang intensiv sejak jauh-jauh hari sebelum hari H lomba dilaksanakan, jika tiak salah sekitar satu atau dua bulan. Saat latihan ini, aku, Wina, dan Safitri mendapatkan pelatihan segala sesuatu yang berhubungan dengan cara-cara mendongeng dengan menggunakan bahasa Inggris. Bu Eva dan bu Nia – guru bahasa Inggris di sekolahku yang lain – melatih kami bertiga dengan sangat sabar, walaupun banyak kesalahan yang kami perbuat selama masa latihan ini. 



Karena aku dan Wina berasal dari sekolah SD di kampung, yang notabene pelajaran bahasa Inggris baru kami dapatkan dari kelas emapt SD untukku dan kelas tiga untuk Wina, itupun belum diajarkan dengan intens, kami berdua paling lama untuk menguasai materi story telling kami masing-masing. Hal sebaliknya terjadi dengan Safitri, ia cepat menguasai materi story tellingnya. Mungkin ini karena saat SD ia bersekolah di Jakarta dan sekolahnya itu sangat memenitingkan kemampuan berbahasa Inggris para siswanya. Tapi walaupun begitu aku bersyukur, karena pada saat hari H lomba, kami semua dapat menguasai materi masing-masing, apalagi pada saat itu kami dilarang untuk membawa catatan ataupun teks naskah story telling pada saat tampil.

Hari H lombapun tiba. Karena sekolah kami yang menjadi tuan rumah untuk mengadakan event PORSENI ini, tentu saja menambah kepercayaan dan ketenangan hati kami bertiga. Walaupun kami tak tau akan menang atau kalah, setidaknya kebanyakan orang-orang yang menonton adalah teman-teman satu sekolah kami. Jadi apabila nanti pada saat tampil kami melakukan kesalahan kami tidak akan terlalu merasa malu. 

Di antara semua orang yang mengikuti lomba story telling itu, aku merasa menjadi peserta yang paling totalitas tetapi juga menjadi peserta paling ribet. Ketika orang lain hanya berdongeng dengan menggunakan suara dan ekspresi wajah mereka masing-masing, malam sebelumnya aku malah sudah menyiapkan boneka wayang dari kertas dari tokoh dalam kisah dongeng yang akan aku ceritakan. Aku masih ingat ketika itu orang-orang melirikku yang duduk di bangku peserta dengan pandangan aneh dari peserta lain yang melihat wayang-wayangku. Tentu saja hal ini sedikit banyak membuat hatiku makin deg-degan.

Ketika tiba saat giliranku untuk berstory telling tiba, aku bingung bagaimana caranya menggunakan wayang-wayangku yang memainkannya harus mengunakan dua tangan, sementara saat itu aku juga harus memegang mic. Bingung harus bagaimana, akhirnya aku memutuskan untuk tidak menggunakan wayang-wayang yang telah cape ku buat semalaman. Hal ini membuat  mentalku kembali sedikit turun, walaupun pada akhirnya aku bisa menyelesaikan story tellingku, tapi rasanya aku kurang puas dengan penampilanku waktu itu.

 
Pada akhirnya aku tidak mendapatkan juara dalam lomba story telling perdanaku itu. Tentu saja aku merasa kecewa, pun dengan kedua temanku yang sama-sama tidak mendapatkan juara. Karena kami memang teman dekat dan kebetulan kami satu kelas, setiap harinya setelah perlombaan kami saling menghibur diri. “Gak apa-apa kalah juga, yang penting kita dapet pengalaman,” itulah yang kami ucapkan untuk mengobati rasa kekecewaan kami. Yah bagiku tak apa aku tak menang, lagipula itu adalah pengalaman pertamaku untuk berbicara di depan banyak orang dengan menggunakan bahasa Inggris. Seperti apa yang aku, Wina dan Safitri yakini, tak apa kalah dalam suatu perlombaan, yanng terpenting adalah kami mendapatkan pengalaman dari hal itu.

Tugas Pengalaman Komunikasi 6
by Sri Yuniarti Gojali in Label: , , ,



 Bedanya Belut Sama Ular


Aku memiliki seorang keponakan laki-laki bernama Gibran Ramadhan Haidar Araz atau biasa dipanggil dengan sebutan Ibang. Keponakanku ini memiliki pemikiran dan kemampuan yang jauh melampaui anak-anak seusianya. Untuk anak berumur empat tahun ia memiliki pemikiran yang benar-benar logis. Padahal pada umur-umur seperti empat tahun ini anak-anak biasanya selalu bermain dengan imajinasi-imajinasi mereka yang kadang sangatlah tidak logis. Tapi ada kalanya juga ia berkhayal dengan pemikirannya yang tak pernah bisa aku pahami, ya bagaimanapun juga keponakanku ini adalah seorang anak berumur empat tahun, kurasa sipat anak-anaknya itu tak akan pernah bisa hilang.


Pernah suatu hari ketika aku tengah berada di rumah, aku bermain dengan Gibran di depan rumahnya yang memang bersebelahan dengan rumah mamahku. Saat tengah bermain itu terdengar suara tukang cuanki yang biasa lewat di depan rumahnya, tentu saja ia berteriak kegirangan dan memanggil si amang tukang cuanki dengan kencang, padahal amang tukang cuanki ini masih jauh dari rumah. “Mang, mang, Ibang Beli. Sini ke rumah Ibang, mang, mang!” itulah yang terus ia teriakan dengan suaranya yang sangat melengking sampai si amang tukang cuanki ada di depan rumahnya.

“Mang Ibang pesen satu, buat bunda satu, kakak satu, ateu satu,” itulah yang langsung ia ucapkan Ibang saat si amang cuanki baru saja menurunkan tanggungannya. Karena si amang cuanki yang memang telah akrab dengan keponakanku ini, dan karena keponakanku yang cerewet, sepanjang si amang melayani pesanan kami – atau pesanan Gibran – mereka terlibat pembicaraan yang seru. Aku hanya mendengarkan sambil selaki-kali menimbali pembicaraan mereka.

Ada satu hala yang membuatku tertarik dengan percakapan mereka berdua, yaitu ketika keponakanku Gibran ini membahas perbedaan antara ular dengan belut. “Kalo ular itu pipih, kalo belut itu tembem,” karena kata-katanya ini tentu saja aku menanggapi, “Pipih dari mana? Emang ular pipih gitu?”. Dengan matanya yang menyipit karena kesal akan pertanyaanku tersebut, keponakanku menjawab dengan nada kesalnya, “Ih ateu mah, kan ular kobra di pinggir kepalanya ada yang pipih kaya kacamata kuda,” aku yang kembali merasa bingung dengan jawabannya kembali menanggapi komentarnya tentang ular “Kacamata kuda dari mana? Enggak kaya kacamata kuda juga,” Mungkin karena makin kesal si Ibang menjawab sambil menghentak-hentakan kakinya ke tanah, ia pun berkata “Kan kacamata kuda di pakenya di pinggir kepala kuda terus bentuknya juga tipis, pipih gitu. Kan sama kaya ular ada yang tipis pipihnya juga di pinggir kepalanya, jadi ya sama lah,” amang cuanki yang mendengarkan itu hanya menanggapi dengan tertawa, sedangkan aku di sebelahnya berwajah masam mengerucutkan bibir karena perkataan keponakanku itu.





“Kalo ular warnanya apa?” si amang cuanki kembali bertanya kepada keponakanku, “Ada yang hitam bawahnya silver, ada yang coklat, ada yang hijau,” jawabnya. “Kalo belut warnanya apa?” dengan wajah tanpa dosannya keponakanku menjawab hijau, yang tentu saja mendapat sanggahan dari ku dan si amang cuangki, menurut kami tidak ada belut yang warnanya hijau. “Ada, belut moray ada yang warnanya hijau. Da Gibran mah dari tadi juga ngomongin belut moray, bukan belut sawah,” dan aku dan amang cuankipun hanya bisa kembali merasa dibodohi.   

Tugas Pengalaman Komunikasi 5
Jumat, 16 Desember 2016 by Sri Yuniarti Gojali in Label: , , ,



Ieu Itu


Setelah aku berkuliah di Bandung, aku memutuskan untuk ngekos di daerah dekat kampusku. Sebenarnya jarak tempat tinggalku dan kamupsku itu tidak terlalu memakan waktu lama hanya sekitar satu sampai satu setengah jam perjalanan, sama seperti waktu tempuh antara rumah dan sekolahku waktu kelas satu SMA dulu. Tetapi karena macet dan kejadian-kejadian yang terduga lainnya, waktu tempuhnya bisa sampai dua hingga tiga jam, kerena itulah aku memutuskan untuk kost  dekat kampusku saja.

Setiap satu atau dua minggu sekali aku selalu menyempatkan diri untuk pulang ke rumah, tetapi itupun apabila tak ada kegiatan kampus yang harus aku ikuti. Selain untuk mengobati rindu suasana dan orang-orang rumah, tetu saja aku pulang untuk menghemat pengeluaran bulananku, hehe. Pasti anak-anak kost sepertiku mengerti dengan “modus” ini.

Pada saat itu, hari jumat tanggal 4 November 2016, aku dan temanku Rinda – yang berasal dari dareh yang sama sepertiku – memutuskan untuk pulang kampung. Kerena kebetulan kami kuliah hanya sampai hari kamis, dan tak ada kegiatan kampus lain yang kami ikuti saat itu. Seperti biasa kami pulang menggunakan bis kota jurusan Kebon Kalapa Tanjungsari. Saat kami menaiki bis kota tersebut, bis tidak terlalu penuh hingga kami bisa duduk di depan dekat dengan kursi supir.  

Setelah beberapa jauh bis meninggalkan terminal bis kota Damri ini di Kebon Kalapa, sang kondektur bertanya kepadaku, “Neng mau pulang?” aku yang bingung kenapa si bapak mengetahui kami akan pulang menjawab “Iya pak,” setelah itu si bapak kondektur kembali bertanya “Eneng mahasiswa? Dimana kuliahnya?” dan akupun menjawab, “Iya pak saya mahasiswa, kuliahnya di Unpas pak,” si bapak hanya menganggukan kepalanya sambil kembali mengobrol dengan sopir bis. Mereka membicarakan tentang kegiatan aksi damai 4 November yang kala itu tengah dilakukan di Jakarta.




“Kenapa gak ikut demo neng?” aku yang kaget sekaligus bingung dengan pertanyaan si bapak kondektur yang ternyata telah menghentikan obrolannya dengan pak sopir hanya bisa melirik ke arah Rinda yang duduk disebelahku, dan kemudian menjawab “Enggak ah pak,”. Si bapak hanya tersenyum sambil berkata “Kenapa gak ikut? Kan mahasisiwa. Padahal mah ikut aja ke Jakarta, rame di sana mah. Di sini mah sepi. Tuh tinggal jalan ge meni lalowong kieu,” aku hanya bisa mengulum senyum tanpa menjawab perkataan si kondektur. Selanjutnya si bapak kondekturpun terus mengajakku mengobrol, dari seputaran kuliah hingga tempat turunku, hingga mungkin setengah perjalannan, yang waktu itu terasa sangat lancar tanpa ada macet.


 Dari obrolanku dengan bapak kondektur bis itu, aku menyadari bahwa salah satu imej seorang mahasiswa di kalangan orang banyak itu adalah sebagai seorang pendemo. Ia bahkan bertanya kenapa aku tidak ikut aksi damai 4 November yang ia beri label “demo”. Sebenarnya menurutku tak ada salahnya berdemo, itu bukan merupakan suatu dosa dan hal yang dilarang. Selama kita melakukan itu dengan tertib dan damai, tanpa adanya kekerasan dan niat yang tak benar kenapa tidak berdemo. Jadikan saja ajang demo kita itu untuk mencari dan menuntut keadilan dan kebenaran, tentu saja dengan cara yang adil dan benar pula.

Tugas Pengalaman Komunikasi 4
by Sri Yuniarti Gojali in Label: , , ,

Ieu Itu

Ada satu hal lucu yang sering dilakukan oleh papaku, bahkan hal ini sepertinya sudah menjadi ciri khasnya sendiri. Ketika membicarakan sesuatu papahku sering mengucapkan kata  ieu (ini) dan itu (itu), yang kadang membuat orang menjadi tak mengerti apa maksud dari ucapannya. Pokoknya jika berbicara dengan papahku, aku harus memutar otak lebih dulu untuk mengerti maksud dari kata-katanya.

Pernah suatu ketika, saat kakak iparku akan kembali pulang ke Tanggerang untuk bekerja, ia berpamitan kepada papah sambil mencium tangannya dan memeluk papah. Saat tengah memeluk kakakku itulah papah berkata, “Enya nya kade sing ieueun,” kakaku yang padahal juga asli orang Sunda langsung melirik kepada ku yang berada di belakang papah sambil menaikan alisnya dan berbisik “Naon?” (Apa?). Aku hanya bisa mengedikan bahu sambil menahan untuk tidak tertawa, padahal aku tau maksud papahku itu apa. Maksud papahku itu meminta agar kakakku berhati-hati dan bisa selamat sampai tujuannya. Atau mungkin ia meminta agar kakakku menjaga dirinya di sana nanti, atau... eish aku jadi tak yakin maksud dari ucapan papahku waktu itu apa. Ya yang pasti intinya ia mendoakan kebaikan untuk kakakku. Benar kan? Yah terserahlah.


 Setiap aku dan keluargaku mengunjungi rumah kakekku yang tak terlalu jauh jaraknya dengan rumahku – sekitar 20-30 menit berkendara – papah dan kakekku selalu terlibat perbicaraan yang terihat begitu seru. Aku rasa sedikit banyaknya mereka berdua memiliki latar belakang yang sama dan pemikiran yang hampir sama juga. Karena ayahku yang seorang guru PKN dan kakekku yang seorang politikus, tentu saja obrolan mereka tidak akan jauh dengan masalah politik dan hukum, bahkan hal remehpun seperti menonton TV, selalu mereka sangkut pautkan dengan hukum. Yang pastinya obrolsn mereka itu tak akan bisa aku ikuti. Walaupun aku sekarang tengah berkuliah di fakultas ilmu politik dan sosial, tapi aku tak terlalu suka dengan politik. Jadi setiap mereka mencoba untuk mengajaku dalam diskusi mereka aku selalu menghindar. Well no thanks, that’s not for me.

Satu yang lucu dari pembicaraan antara papah dan kakekku, sepanjang obrolan mereka berdua berlangsung, kakekku sering terlihat memainkan jarinya seperti tengah menghitung sesuatu. Walaupun mata kakekku fokus pada papahku yang tengah berbicara, tapi jarinya yang seperti tengah menghitung itu tidak pernah berhenti ia gerakan, selama perbincangan antara keduanya masih berlangsung. Dan ternyata bukan hanya aku saja yang menyadari tingkah kakekku itu, tetapi mamahku juga menyadarinya.


Selidik punya selidik, setelah mamahku bertanya kepada kakek kenapa kakekku bertingkah demikian saat sedang mengobrol dengan papahku, ternyata ia memang tengah menghitung. Ia berkata kepadaku dan mamahku, “Apa mah keur ngitung sabaraha kali si Ade (nama panggilan papahku) nyebutkeun ieu jeung itu,” (“Kakek lagi ngitung berapa kali si Ade menyebutkan kata ieu sama itu,”). Sontak saja jawaban dari kakekku itu membuat aku dan mamahku tertawa terbahak-bahak yang diikuti juga oleh kakekku.

Sebenarnya aku tak yakin papahku tau tentang kebiasaan kakekku yang sering menghitung kata ieu dan itu yang sering ia gunakan. Dan aku tak yakin bagaimana reaksinya apabila ia mengetahuinya, hahaha. Well semoga saja ia tak membaca blogku ini ya, haha.