Tersesat
Beberapa hari yang lalu saat aku tengah mengunjungi rumah kakaku yang memang bertetangga dengan
rumahku, ada tingkah keponakanku Gibran yang memuat aku ingin tertawa.
Sepertinya keponakanku yang satu ini sedang senang berimajinasi dengan hal-hal
aneh. Tapi tak ayal tingkahnya itu malah sering membuat yang melihatnya merasa
lucu sekaligus kesal.
Ketika
itu saat ia tengah memakan seblak yang baru dibelinya ia berkata dengan
tiba-tiba kepadaku, “Ateu ade sama bunda tadi tersesat,”. Aku yang tengah makan
juga menghentikan acara makanku dan menjawab, “Huh?”. Mendapatkan tanggapan
dariku, ia terlihat bersemangat menceritakan kisahnya “Iya ade tuh, pas mau
pulang dari warung tersesat, kehilangan jejak. Jadi weh ade sama bunda muter-muter pulangnya,” sambil meneruskan
makanku kembali aku bertanya pada Gibran, “Jejak siapa yang ilang?” “Jejak ade
lah. Kan tadi tuh pas jalan ke warung ade meninggalkan jejak di tanah pake
kaki, tapi pas ade pulang jejaknya gak ada.” Setelah itu ia terus bercerita
pengalaman ‘tersesatnya’ dengan penuh semangat sampai-sampai seblak yang tengah
ia makan sebelumnya dilupakan.
“Ateu,
tau gak? Ade tuh dulu pernah tersesat di hutan,” dengan malas-malasan aku
menanggapi ucapannya, karena aku tau ujung-ujungnya apa yang dia bicarakan
hanya ‘fiktif belaka’. “Masa? Kapan?” dengan lebih antusias ia mulai kembali
dongengnya “Dulu, pas ade udah besar,” aku mengernyitkan kedua alisku mendengar
kata-kata absurb itu. Karena melihat respon negatif dari ku, keponakanku
berteriak padaku “Ateu... ade mah gak
bohong, ateu harus percaya sama ade.” Melihat dia yang kesal aku malah semakin
ingin mengerjai keponakanku, maka aku menjawab, “Emang ateu gak percaya. Kapan
coba ade ilang? Terus kalo di hutan hidupnya kaya gimana hayoh?”
Dengan
suara menahan kesal Gibran baerusaha meyakinkanku bagaimana ia hidup di hutan
waktu ia ‘tersesat dulu’. “Ade mah
makannya makan daun, enggak mandi juga, mandinya kalo ujan aja. Terus tidurnya
di rumput. Kalo musim kemarau ade makan cacing sama laba-laba, soalnya daunnya
pada kering jadi gak bisa dimakan,” mendengar penjelasan fiktif yang masuk
akalnya sekaligus tidak masuk akalnya, akupun bertanya, “Kenapa enggak berburu
aja buat makannya?” Gibran menjawab dengan cepat, “Eh tak boleh! gak boleh
bunuh binatang, kasian nanti anaknya nyariin.”
Setelah
itu, keponakanku terus bercerita tentang bagaimana ia bisa tersesat di hutan
dan kehidupannya saat itu. Ia berkata bahwa ia bisa tersesat di hutan karena ia
kehilangan jejak kakinya yang di hapus oleh hantu-hantu di hutan. Ia juga
mencoba terus meyakinkanku bahwa cerita yang ia ceritakan padaku itu benar. Aku
yang memang senang mengerjainya, terus bersikeras bahwa aku tak percaya akan
ceritanya. Pada akhirnya mungkin karena keleahan akhirnya ia malah tidur di
lantai dengan sanga pulas. Dasar memang keponakanku ini, cita-citanya yang
ingin menjadi seorang pilot sekaigus peternak ikan ini sepertinya harus
dirubah. Jika kamu menjadi seorang PR atau sales sepertinya lebih cocok de,
hahaha.