Bersajak
Setelah
pada saat kelas satu SMP aku mendapat amanah untuk mewakili sekolahku dalam
kejuaraan story telling, ketika kelas dua SMP aku kembali mendapatkan
kepercayaan untuk kembali mengikuti event PORSENI, tetapi kali ini aku
dipercaya untuk mengikuti lomba membaca sajak Sunda. Aku terpilih mengikuti
lomba ini setelah sebelumnya menjuarai lomba yang sama pada tingkat sekolahku.
Tentu saja kesempatan ini aku ambil dengan senang hati, tidak seperti saat
lomba story telling dulu, di mana aku baru
menerima tawaran untuk mengikuti lomba setelah mendapat bujukan dari berbagai
pihak, saat mengikuti lomba ini aku lebih percaya diri, karena setidaknya aku
memiliki dasar-dasar dalam bersajak Sunda, walaupun memang itupun harus
diperbaiki.
Sebenarnya
lomba sajak Sunda yang diadakan ini mempunyai dua kategori, yaitu untuk putra
dan untuk putri. Tetapi karena tidak ada murid laki-laki yang bersedia untuk
mengikuti lomba sajak Sunda kategori putra, akhirnya sekolahku hanya
mengirimkan utusannya untuk kategori sajak Sunda putri saja. Hal ini sedikit
banyak memberikan beban lebih kepadaku, karena aku menjadi satu-satunya utusan
sekolahku dalam ajang lomba membaca sajak Sunda ini.
Selain
membaca sajak Sunda, ada beberapa kejuaraan lain yang diadakan dalam kategori
sastra Sunda ini. Lomba-lomba tersebut yaitu: lomba pupuh Sunda putra putri,
lomba membaca berita dengan bahasa Sunda putra putri, lomba membuat cerita
Sunda putra putri, dan lomba mendongeng menggunakan bahas Sunda putra putri.
Dalam setiap perlombaan sekolahku mengirimkan perwakilan putra dan putri
terbaik yang dimiliki sekolahku, tentu saja dengan pengecualian lomba membaca
sajak yang hanya aku yang mengikutinya.
Selama
mungkin hampir satu bulan penuh kami semua mengikuti pelatihan dan pemantapan
yang diberikan dua guru bahasa Sunda kami, yaitu bu Susi dan bu Yuyun. Aku
belajar bagaimana intonasi suara, cara membaca, dan gestur tubuh serta mimik
wajah yang sesuai dengan sajak yang aku bacakan. Sebelumnya gaya bersajakku
memang menitik beratkan kepada gerakan tubuh, bahkan mungkin seandainya aku
harus berguling aku akan berguling haha. Tetapi setelah berlatih dengan guruku,
gerakan-gerakan tubuh yang bisa disebut ‘lebay’ itu banyak aku kurangi. Dalam
bersajak kini aku lebih mementingkan intonasi suara dan mimik wajah, untuk menyampaikan
makna dari sajak yang dibacakan.
Ketika
hari H lomba dilaksanakn, kami semua berangkat ke SMP Negeri 1 Cimalaka tempat
perlombaan-perlombaan dilaksanakan. Saat tiba saat aku membacakan sajakku aku
sedikit merasa gugup karena peserta-peserta sebelumnya tampil sangat bagus,
bahkan ada yang sampai mengeluarkan air mata. Tapi untunglah aku dapat
menguasai rasa gugupku tersebut dan tampil dengan tenang dan sesuai dengan apa
yang telah aku latih dan pelajari sebelumnya.
Saat
tiba pengumuman pemenang diumumkan yang dilaksanakan sekitar pukul 18.00, aku
harus kembali menelan kekecewaan karena aku tak mendapatkan juara dalam lomba
kali ini, dan kali ini peserta tuan rumahlah yang menyabet juara pertama dalam
kejuaraan sajak Sunda ini. Guruku bu Susi sempat bertanya padaku setelah
pengumuman pemenang, bagaimana penampilan si juara pertama. Aku menjawab bahwa
dia bersajak dengan menggunakan gaya sepertiku dulu yang mementingkan gerakan
tubuh. Bu Susi hanya mengangguk dan berkata “Enya
wios da tiap juri ge beda-beda selerana, beda-beda penilaianna.” Yah benar apa kata guruku tersebut setiap orang
memiliki penilaian dan selera yang berbeda, jadi aku tak perlu terlalu kecewa.
Yang terpenting adalah aku telah mencoba dan berusaha semaksimal mungkin.
.